Secara umum, dasar sistem asuransi
dibagi menjadi 2, yaitu asuransi konvensional dan asuransi syariah. Asuransi
konvensional tidak mengenal hukum Islam (halal & haram) dalam
pengelolaannya. Sedangkan asuransi syariah yaitu asuransi yang berlandaskan
hukum Islam dalam pengelolaannya. Asuransi Prudential Syariah adalah salah satu
asuransi yang dalam prakteknya menggunakan hukum halal & haram dalam Islam,
sehingga hanya melakukan praktek-praktek yang halal namun menjauhi
praktek-praktek yang haram. Lalu apa alasannya sehingga bisa disebut halal?
Sesuai
dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional
Saat kita membeli produk-produk
makanan baik di supermarket maupun di restoran, tentunya kita akan lebih
memilih produk-produk yang mempunyai label halal. Label halal tersebut
dikeluarkan oleh LPPOM MUI (Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan
Kosmetika Majelis Ulama Indonesia). Dengan adanya label atau sertifikasi halal
tersebut sangat memudahkan masyarakat untuk memilih & mengkonsumsi
produk-produk halal. Kita tak perlu untuk repot-repot meneliti semua kandungan
bahan pangan dalam suatu produk makanan, bahkan sampai repot-repot melihat
langsung cara memproduksinya. Kita cukup mempercayakannya kepada MUI &
lembaga yang ditugasinya yang mempunyai spesialisasi dalam hal menilai suatu
produk makanan.
Seperti halnya dalam bidang makanan,
MUI-pun mempunyai lembaga khusus yang mempunyai fungsi melaksanakan tugas-tugas
MUI dalam menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan aktifitas lembaga
keuangan syariah. Lembaga yang dimaksud adalah Dewan Syariah Nasional
(DSN). DSN-MUI telah mengeluarkan fatwa mengenai pedoman umum asuransi syariah yang mana
memberikan ketentuan-ketentuan, pedoman akad yang harus dilaksanakan, &
cara pengelolaannya agar sesuai dengan syariat Islam. Agar perusahaan asuransi
syariah & lembaga keuangan syariah lainnya di Indonesia mampu melaksanakan
pengelolaan sesuai dengan pedoman yang di-fatwakan DSN-MUI, maka MUI membentuk
Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang bertugas mengawasi pelaksanaan keputusan
DSN di perusahaan berbasis syariah tersebut. DPS merupakan dewan pakar
ekonomi syariah dan ulama yang menguasai bidang fiqh mu’amalah. Di Prudential
syariah, DPS diketuai oleh K.H. Dr. H.M. Anwar Ibrahim. DPS ini kedudukannya
setingkat dengan Dewan Komisaris yang bertugas mengawasi manajemen perusahaan.
Dalil-Dalil
Bicara mengenai aturan Islam
tentunya tak boleh lepas dari dalil-dalil yang menjadi sumbernya.
- Alloh Ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا
وَصِيَّةً لأزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ فَإِنْ
خَرَجْنَ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِي مَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ مِنْ
مَعْرُوفٍ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan
orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan istri,
hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun
lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka
pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang
meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma’ruf terhadap diri mereka. Dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Surat Al-Baqarah: 240)
- Alloh SWT berfirman:
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ
ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا
قَوْلًا سَدِيدًا
“Dan
hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan
dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah
dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. “ (Surat An-Nisa’: 9).
- Dari ‘Amir bin Sa’ad, dari ayahnya, Sa’ad, ia adalah salah seorang dari sepuluh orang yang dijamin masuk surga- berkata,
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menjengukku ketika haji Wada’, karena sakit
keras. Aku pun berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya sakitku sangat keras
sebagaimana yang engkau lihat. Sedangkan aku mempunyai harta yang cukup banyak
dan yang mewarisi hanyalah seorang anak perempuan. Bolehkah saya sedekahkan 2/3
dari harta itu?” Beliau menjawab, “Tidak.” Saya bertanya lagi, “Bagaimana kalau
separuhnya?” Beliau menjawab, “Tidak.” Saya bertanya lagi, “Bagaimana kalau
sepertiganya?” Beliau menjawab, “Sepertiga itu banyak (atau cukup besar).
Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu kaya, itu lebih baik daripada
kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin sehingga mereka terpaksa
meminta-minta kepada sesama manusia. Sesungguhnya apa yang kamu nafkahkan
dengan maksud untuk mencari ridha Alah pasti kamu diberi pahala, termasuk apa
yang dimakan oleh istrimu.” (Hadits Riwayat Bukhari-Muslim)
- Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallah ‘alaihi wa sallam pernah menasehati seseorang,
اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ
وَ صِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَ غِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ وَ فَرَاغَكَ قَبْلَ
شَغْلِكَ وَ حَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ
“Manfaatkanlah
lima perkara sebelum lima perkara:
- Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu,
- Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu,
- Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu,
- Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu,
- Hidupmu sebelum datang matimu.”
Akad
dalam Prudential Syariah
Jika peserta setuju untuk menjadi
nasabah Prudential syariah, maka ada 2 akad yang disetujui, yaitu:
- Akad tijarah (mudharabah), yaitu akad antara peserta dengan Prudential syariah. Dalam akad ini Prudential syariah bertindak sebagai mudharib (pengelola) dan peserta bertindak sebagai shahibul mal (pemegang polis).
- Akad tabarru’ (hibah), yaitu akad antar peserta. Dalam akad ini peserta memberikan hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah. Sedangkan Prudential bertindak sebagai pengelola dana hibah. Dana adalah milik peserta, Prudential hanya mempunyai kewajiban untuk mengelolanya sesuai prinsip syariah yang diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah.
“Barang
siapa melepaskan dari seorang muslim suatu kesulitan di dunia, Allah akan
melepaskan kesulitan darinya pada hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong
hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya” (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
Bebas
dari Unsur Maysir, Gharar, & Riba
Maysir dalam bahasa Indonesia biasa
disebut dengan judi atau untung-untungan atau spekulasi. Dalam hukum Islam,
maysir adalah dilarang.
يَسْأَلُونَكَ
عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ ۖ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ
لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا ۗ وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا
يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ
لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ
“Mereka menanyakan kepadamu
(Muhammad) tentang khamr dan maysir. Katakanlah, ”Pada keduanya terdapat dosa
yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar
daripada manfaatnya….” (QS Al-Baqarah 2:219).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
menyatakan, al-gharar adalah yang tidak jelas hasilnya. Yang dimaksud tidak
jelas disini adalah transaksi yang tidak jelas aturan & ketentuannya
sehingga mengakibatkan ketidakrelaan dan bisa merugikan salah satu pihak,
misalnya menjual janin ternak yang tidak diketahui kelahirannya kapan &
kelaminnya apa, menjual tanah yang tidak diketahui batas-batasnya, dll.
Dalam Prudential syariah, tiap
peserta memberikan dana hibah (akad tabarru’) sehingga jika ada peserta yang
mengalami musibah dan mengajukan klaim, maka klaim tersebut diambil dari dana
hibah tersebut dengan prinsip tabarru’ atau tolong-menolong. Apabila peserta
tidak melakukan klaim dalam satu periode, maka dia berhak untuk mendapatkan
bagi hasil. Mengenai ketentuan klaim & manfaat yang bisa diambil,
seluruhnya tercantum dalam polis. Agen asuransi berkewajiban untuk
menjelaskannya, dan peserta berhak untuk mempelajarinya.
“Rasulullah SAW melarang jual beli
yang mengandung gharar” (HR. Muslim, Tirmizi, Nasa’i, Abu Daud, dan Ibnu Majah
dari Abu Hurairah).
Riba adalah melebihkan jumlah
pinjaman berdasarkan persentase tertentu. Dalam istilah perbankan, riba biasa
disebut dengan bunga. Riba dilarang dalam Islam. Oleh karenanya, Prudential
syariah tidak memberi bunga & tidak menanamkan investasi ke dalam instrumen
keuangan berbasis bunga. Prusyariah melakukan investasi pada Jakarta Islamic Index & obligasi syariah
(sukuk) karena harus sesuai dengan fatwa DSN-MUI bahwa investasi wajib
dilakukan sesuai dengan syariah.
الَّذِينَ
يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ
الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُواْ إِنَّمَا الْبَيْعُ
مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَن جَاءهُ
مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَىَ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللّهِ
وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَـئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ . يَمْحَقُ
اللّهُ الْرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللّهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ
أَثِيمٍ البقرة: 275-276
“Orang-orang yang makan (mengambil)
riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan
syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu
disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan
riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabb-nya, lalu
terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya
dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang
yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni
neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan melipat-gandakan
sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang senantiasa berbuat
kekafiran / ingkar, dan selalu berbuat dosa.” (Qs. al-Baqarah: 275-276).
sumber : http://konsultanprusyariah.com/asuransi-prudential-syariah-halal-atau-haram/
Secara umum, dasar
sistem asuransi dibagi menjadi 2, yaitu asuransi konvensional dan
asuransi syariah. Asuransi konvensional tidak mengenal hukum Islam
(halal & haram) dalam pengelolaannya. Sedangkan asuransi syariah
yaitu asuransi yang berlandaskan hukum Islam dalam pengelolaannya.
Asuransi Prudential Syariah adalah salah satu asuransi yang dalam
prakteknya menggunakan hukum halal & haram dalam Islam, sehingga
hanya melakukan praktek-praktek yang halal namun menjauhi
praktek-praktek yang haram. Lalu apa alasannya sehingga bisa disebut
halal?
Sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional
Saat kita membeli produk-produk makanan baik di supermarket maupun di
restoran, tentunya kita akan lebih memilih produk-produk yang mempunyai
label halal. Label halal tersebut dikeluarkan oleh LPPOM MUI (Lembaga
Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia).
Dengan adanya label atau sertifikasi halal tersebut sangat memudahkan
masyarakat untuk memilih & mengkonsumsi produk-produk halal. Kita
tak perlu untuk repot-repot meneliti semua kandungan bahan pangan dalam
suatu produk makanan, bahkan sampai repot-repot melihat langsung cara
memproduksinya. Kita cukup mempercayakannya kepada MUI & lembaga
yang ditugasinya yang mempunyai spesialisasi dalam hal menilai suatu
produk makanan.
Seperti halnya dalam bidang makanan, MUI-pun mempunyai lembaga khusus
yang mempunyai fungsi melaksanakan tugas-tugas MUI dalam menangani
masalah-masalah yang berhubungan dengan aktifitas lembaga keuangan
syariah. Lembaga yang dimaksud adalah Dewan Syariah Nasional (DSN).
DSN-MUI telah mengeluarkan fatwa mengenai pedoman umum asuransi syariah
yang mana memberikan ketentuan-ketentuan, pedoman akad yang harus
dilaksanakan, & cara pengelolaannya agar sesuai dengan syariat
Islam. Agar perusahaan asuransi syariah & lembaga keuangan syariah
lainnya di Indonesia mampu melaksanakan pengelolaan sesuai dengan
pedoman yang di-fatwakan DSN-MUI, maka MUI membentuk Dewan Pengawas
Syariah (DPS) yang bertugas mengawasi pelaksanaan keputusan DSN di
perusahaan berbasis syariah tersebut. DPS merupakan dewan pakar ekonomi
syariah dan ulama yang menguasai bidang fiqh mu’amalah. Di Prudential
syariah, DPS diketuai oleh K.H. Dr. H.M. Anwar Ibrahim. DPS ini
kedudukannya setingkat dengan Dewan Komisaris yang bertugas mengawasi
manajemen perusahaan.
Dalil-Dalil
Bicara mengenai aturan Islam tentunya tak boleh lepas dari dalil-dalil
yang menjadi sumbernya.
Alloh Ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً
لأزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ فَإِنْ خَرَجْنَ
فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِي مَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ مِنْ
مَعْرُوفٍ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan
meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, (yaitu)
diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari
rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa
bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat
yang ma’ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” (Surat Al-Baqarah: 240)
Alloh SWT berfirman:
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً
ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا
سَدِيدًا
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya
meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah
mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan
yang benar. “ (Surat An-Nisa’: 9).
Dari ‘Amir bin Sa’ad, dari ayahnya, Sa’ad, ia adalah salah seorang
dari sepuluh orang yang dijamin masuk surga- berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjengukku ketika haji
Wada’, karena sakit keras. Aku pun berkata, “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya sakitku sangat keras sebagaimana yang engkau lihat.
Sedangkan aku mempunyai harta yang cukup banyak dan yang mewarisi
hanyalah seorang anak perempuan. Bolehkah saya sedekahkan 2/3 dari harta
itu?” Beliau menjawab, “Tidak.” Saya bertanya lagi, “Bagaimana kalau
separuhnya?” Beliau menjawab, “Tidak.” Saya bertanya lagi, “Bagaimana
kalau sepertiganya?” Beliau menjawab, “Sepertiga itu banyak (atau cukup
besar). Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu kaya, itu lebih
baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin sehingga
mereka terpaksa meminta-minta kepada sesama manusia. Sesungguhnya apa
yang kamu nafkahkan dengan maksud untuk mencari ridha Alah pasti kamu
diberi pahala, termasuk apa yang dimakan oleh istrimu.” (Hadits Riwayat
Bukhari-Muslim)
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallah ‘alaihi
wa sallam pernah menasehati seseorang,
اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ وَ
صِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَ غِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ وَ فَرَاغَكَ قَبْلَ
شَغْلِكَ وَ حَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ
“Manfaatkanlah lima perkara sebelum lima perkara:
Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu,
Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu,
Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu,
Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu,
Hidupmu sebelum datang matimu.”
Akad dalam Prudential Syariah
Jika peserta setuju untuk menjadi nasabah Prudential syariah, maka ada 2
akad yang disetujui, yaitu:
Akad tijarah (mudharabah), yaitu akad antara peserta dengan
Prudential syariah. Dalam akad ini Prudential syariah bertindak sebagai
mudharib (pengelola) dan peserta bertindak sebagai shahibul mal
(pemegang polis).
Akad tabarru’ (hibah), yaitu akad antar peserta. Dalam akad ini
peserta memberikan hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta lain
yang terkena musibah. Sedangkan Prudential bertindak sebagai pengelola
dana hibah. Dana adalah milik peserta, Prudential hanya mempunyai
kewajiban untuk mengelolanya sesuai prinsip syariah yang diawasi oleh
Dewan Pengawas Syariah.
“Barang siapa melepaskan dari seorang muslim suatu kesulitan di
dunia, Allah akan melepaskan kesulitan darinya pada hari kiamat; dan
Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong
saudaranya” (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
Bebas dari Unsur Maysir, Gharar, & Riba
Maysir dalam bahasa Indonesia biasa disebut dengan judi atau
untung-untungan atau spekulasi. Dalam hukum Islam, maysir adalah
dilarang.
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ ۖ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ
كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا ۗ
وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ
اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ
“Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang khamr dan maysir.
Katakanlah, ”Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat
bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya….” (QS
Al-Baqarah 2:219).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan, al-gharar adalah yang tidak
jelas hasilnya. Yang dimaksud tidak jelas disini adalah transaksi yang
tidak jelas aturan & ketentuannya sehingga mengakibatkan
ketidakrelaan dan bisa merugikan salah satu pihak, misalnya menjual
janin ternak yang tidak diketahui kelahirannya kapan & kelaminnya
apa, menjual tanah yang tidak diketahui batas-batasnya, dll.
Dalam Prudential syariah, tiap peserta memberikan dana hibah (akad
tabarru’) sehingga jika ada peserta yang mengalami musibah dan
mengajukan klaim, maka klaim tersebut diambil dari dana hibah tersebut
dengan prinsip tabarru’ atau tolong-menolong. Apabila peserta tidak
melakukan klaim dalam satu periode, maka dia berhak untuk mendapatkan
bagi hasil. Mengenai ketentuan klaim & manfaat yang bisa diambil,
seluruhnya tercantum dalam polis. Agen asuransi berkewajiban untuk
menjelaskannya, dan peserta berhak untuk mempelajarinya.
“Rasulullah SAW melarang jual beli yang mengandung gharar” (HR. Muslim,
Tirmizi, Nasa’i, Abu Daud, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah).
Riba adalah melebihkan jumlah pinjaman berdasarkan persentase tertentu.
Dalam istilah perbankan, riba biasa disebut dengan bunga. Riba dilarang
dalam Islam. Oleh karenanya, Prudential syariah tidak memberi bunga
& tidak menanamkan investasi ke dalam instrumen keuangan berbasis
bunga. Prusyariah melakukan investasi pada Jakarta Islamic Index &
obligasi syariah (sukuk) karena harus sesuai dengan fatwa DSN-MUI bahwa
investasi wajib dilakukan sesuai dengan syariah.
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ
الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ
قَالُواْ إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ
وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَن جَاءهُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَىَ
فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَـئِكَ
أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ . يَمْحَقُ اللّهُ الْرِّبَا
وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللّهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
البقرة: 275-276
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan)
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka
berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba.
Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabb-nya, lalu
terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah
diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu
adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah
memusnahkan riba dan melipat-gandakan sedekah. Dan Allah tidak menyukai
setiap orang yang senantiasa berbuat kekafiran / ingkar, dan selalu
berbuat dosa.” (Qs. al-Baqarah: 275-276).
Read more at: http://konsultanprusyariah.com/asuransi-prudential-syariah-halal-atau-haram/ | Konsultan Prusyariah
Read more at: http://konsultanprusyariah.com/asuransi-prudential-syariah-halal-atau-haram/ | Konsultan Prusyariah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar